Generally, in a traditional school, the development potential of students divided into two major groups: academic and non-academic, with the management of non-academic development potential contained in extracurricular activities. Although the school offers a variety of extracurricular activities, but very likely there are other types of potentials which are not embodied considering the limited ability of schools in facilitating potential. As a result students are “forced” to choose self-development activities that may be incompatible with his talent. There are two negative consequences: from the students he lose the moment to begin to explore talent, from the student organization like this will only hinder the others. This fact must be resolved by the model development potential of students in a “bottom-up” in the form of hobby communities.
Dewasa ini prinsip pengelolaan pendidikan di Indonesia semakin banyak mendekati dan mengadopsi prinsip-prinsip dalam manajemen mutu dimana penekanan terhadap pemenuhan harapan dan kepuasan pelanggan semakin mendapatkan tempat sentral dalam penentuan kebijakan. Dalam International Workshop Agreement (IWA) 2:2007 disebutkan bahwa harapan pelajar bisa didefinisikan sebagai seperangkat “persyaratan kurikulum yang mencakup hasil pembelajaran dan indikator prestasi yang spesifik.”
Dalam sistem pendidikan nasional, persyaratan ini diwadahi dalam bentuk standar kompetensi lulusan (SKL), meski dalam SKL ini hanya mengatur standar kompetensi dalam pengertian kompetensi dari pembelajaran intrakurikuler. Namun dalam standar pengelolaan, satuan pendidikan juga diwajibkan melakukan pembinaan potensi siswa dalam kegiatan ekstrakurikuler.
Pada umumnya di sekolah tradisional, pengembangan potensi siswa dibedakan dalam dua kelompok besar: akademik dan non-akademik, dengan pengelolaan pengembangan potensi non-akademik diwadahi dalam kegiatan ekstrakurikuler. Meski sekolah menawarkan beragam ekstrakurikuler, namun sangat mungkin ada jenis-jenis potensi yang tidak terwadahi mengingat keterbatasan kemampuan sekolah dalam memfasilitasi potensi itu. Akibatnya siswa “terpaksa” memilih kegiatan pengembangan diri yang mungkin tidak sesuai dengan bakatnya. Konsekuensi negatifnya ada dua: dari sisi siswa ia kehilangan momen untuk mulai mengeksplorasi bakat, dari sisi penyelenggaraan siswa seperti ini hanya akan menghambat temannya yang lain.
Kenyataan ini harus diatasi dengan model pengembangan potensi siswa secara “bottom-up” dalam bentuk komunitas-komunitas hobi. Namun sebelum diuraikan model pengembangan yang dimaksud, perlu diketahui terlebih dahulu beberapa perspektif yang mendasari model ini.
Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligence)
Perspektif kedua adalah kenyataan bahwa kecerdasan memiliki beragam bentuk. Hal ini memang merupakan pengetahuan yang sudah populer namun secara praktis masih minim yang benar-benar mempraktikkannya.
Howard Gardner, psikolog kognitif Harvard University mengemukakan setidaknya ada “8 ½” jenis kecerdasan, yang disebutnya Multiple Intelligence (MI). Ragam jenis kecerdasan itu—yang sering kita dengar—disingkat SLIM N BILL: Spasial-Visual, Linguistik-Verbal, Interpersonal, Musikal-Ritmik, Naturalis, Badan-Kinestetik, Intrapersonal, Logis-Matematik. Gardner menambahkan “Kecerdasan Eksistensial”—alih-alih kecerdasan spiritual/agama sebagaimana dinyatakan ahli yang lain—meski ia belum sepenuhnya yakin karena “kita belum menemukan bukti yang meyakinkan bahwa ‘pemikiran eksistensial’ berasal dari sistem syaraf atau pusat otak yang khusus didedikasikan untuk hal itu.” (Gardner, 2006:50).
Sayangnya realitas di dunia pendidikan kita masih belum sepenuhnya mengakomodasi prinsip MI ini dalam semua proses pelayanan pendidikan. Selama ini yang dimaksud kecerdasan masihlah kecerdasan dalam artian “prestasi akademik”—dalam hal ini adalah kecerdasan Logis-Matematik dan Linguistik-Verbal. Kecenderungan determinis ini memunculkan beberapa implikasi negatif.
Pengikut dan pengembang utama teori Gardner, Thomas Amstrong (Amstrong, 2011:62) menyatakan setidaknya terdapat 12 implikasi negatif, yakni bahwa Wacana prestasi akademik:
- Menimbulkan bidang-bidang yang terabaikan di kurikulum, yang merupakan bagian dari pendidikan utuh yang diperlukan siswa guna meraih keberhasilan dan pemenuhan dalam hidup.
- Mengakibatkan terjadinya pengabaian intervensi instruksional positif yang tidak bisa dinilai oleh data dari penelitian ilmiah.
- Mendorong pengajaran hanya demi persiapan menghadapi ujian.
- Mendorong siswa mencontek dan menjiplak.
- Mendorong manipulasi hasil ujian oleh guru dan pegawai administrasi.
- Mendorong siswa menggunakan bahan-bahan ilegal untuk membantu meningkatkan kinerja belajar.
- Memindahkan kendali kurikulum dari pendidik di ruang kelas ke organisasi yang membuat standar dan ujian.
- Menyebabkan tingkat stress yang berbahaya di kalangan pendidik dan siswa.
- Meningkatkan kemungkinan siswa tinggal kelas dari tahun ke tahun dan keluar dari sekolah sebelum lulus.
- Tidak memperhatikan perbedaan latar belakang budaya individu, gaya belajar, kecepatan belajar, serta faktor penting lain dalam kehidupan anak sesungguhnya.
- Memotong nilai hakikat belajar demi belajar itu sendiri.
- Makin menjamurnya praktik tak layak di sekolah.
Kaidah 10.000 Jam
Dalam memandang prestasi, biasanya kita memperdebatkan antara adanya suatu bakat pada diri seseorang dengan latihan atau usaha keras yang dilakukannya. Jalan tengah yang umumnya diterima adalah prestasi dicapai oleh mereka yang berbakat yang juga berlatih mengasah bakatnya itu.
Apakah memang ada bakat bawaan? Perdebatan hangat diantara psikolog dalam beberapa dekade terakhir yang sebenarnya bisa dijawab oleh orang awam seperti kita—tulis Gladwell dalam bukunya Outlier—tentu jawabannya: Ya. Namun semakin dekat psikolog menelaah karier mereka yang sukses, semakin kecil tampaknya peranan bakat bawaan dan semakin besar peranan latihan. Gladwell juga menulis bahwa “pemikiran bahwa keberhasilan dalam melakukan sebuah tugas yang kompleks mensyaratkan adanya jumlah minimum latihan mengemuka berulang-kali dalam penelitian mengenai cara memperoleh keahlian dalam sebuah bidang. Sebenarnya para peneliti telah mendapatkan sesuatu yang mereka yakini menjadi angka ajaib agar seseorang menjadi ahli: sepuluh ribu jam.” (Gladwell, 2009:41).
Dalam berbagai penelitian, terhadap komponis, pemain bola basket, penulis novel, pemain ski, pianis, pemain catur, penjahat kelas kakap, dan apapun pekerjaan kita, angka 10 ribu jam ini selalu muncul. Latihan 10 ribu jam ini adalah angka yang muncul dari penelitian terhadap berbagai orang sukses dalam berbagai bidang. Jadi latihan bukanlah hal yang dilakukan setelah kita menjadi hebat, latihan adalah hal yang harus kita lakukan untuk menjadi hebat.
Pola Kerja Otak
Mengapa latihan yang intensif dan lama bisa mengasah kecerdasan seseorang dalam hal yang dilatihnya itu bisa kita rujuk pada pemahaman tentang pola kerja otak manusia.. Sebagaimana dikemukakan Doidge bahwa “jika kita berhenti melatih kecakapan mental kita, kita tidak hanya melupakannya: ruang peta otak untuk kecakapan itu dialihkan ke kecakapan yang kita latih”. Jeffrey Schwartz, profesor Psikiatri UCLA menyebut ini sebagai proses “kemenangan bagi yang tersibuk” (Carr, 2011:33).
Jadi jika seseorang secara keras dan dalam jangka waktu lama melatih kemampuannya bermain musik—misalnya—maka daerah otak yang mengatur kemampuan musiknya semakin sensitif terhadap musik sedangkan yang lain—semisal yang mengatur pemrosesan matematis atau kinestetis—cenderung berkurang. Kerja otak diarahkan pada bagian otak yang selalu digunakan.
Begitu pula yang terjadi jika sebuah bagian otak yang mengatur kemampuan tertentu menjadi pasif karena sebab tertentu—semisal kemampuan melihat terhenti karena buta, atau kemampuan indra sentuh kulit melemah karena kehilangan bagian tubuh tertentu—maka energi otak diarahkan pada bagian lain kemampuan hingga bagian itu menjadi lebih sensitif. Inilah mengapa seringkali seseorang yang buta mendadak pendengarannya lebih tajam atau seseorang yang tuli mendadak perasa sentuhnya lebih tajam dari sebelumnya.
Homofili dan Mimetis
Prinsip selanjutnya adalah dua kecenderungan alami manusia, yakni kecenderungan untuk berkelompok dengan orang lain yang memiliki kesamaan (homofili) dan kecenderungan untuk meniru orang lain yang dianggap lebih baik (mimetis) yang diidolakan.
Homofili adalah kecenderungan alami dalam kehidupan sosial. Jika kita terhubung dalam sebuah kelompok sosial yang sedikit memiliki kesamaan—kesamaan hobi, asal budaya, agama, pemikiran, dan sebagainya—maka kita cenderung mendekonstruksinya, ingin keluar dari kelompok itu. Sebaliknya, jika kita terhubung dalam kelompok sosial yang tiap anggotanya banyak memiliki kesamaan dengan kita maka daya ikat jejaringnya semakin kuat.
Christakis & Flower (2010:19-29) menyebut beberapa aturan dalam jejaring sosial semacam ini, yakni: (1) kita membentuk jejaring kita, (2) jejaring kita membentuk kita, (3) teman mempengaruhi kita, (4) temannya teman mempengaruhi kita, dan (5) jejaring punya kehidupannya sendiri.
Dalam sebuah kelompok yang memiliki tingkat keinginan yang dekat, akan terjadi penguatan dalam banyak hal: motivasi, teknik, penyelesaian masalah, dan kerjasama. Pembentukan kelompok homofili memiliki banyak keuntungan jika diarahkan untuk pencapaian prestasi yang sama yang diinginkan anggotanya.
Kelompok dengan kesamaan minat juga memungkinkan tumbuhnya hasrat peniruan (mimetic desire) oleh seorang anggota junior pada anggota lain yang lebih senior dan hebat.
Integrasi Perspektif dan Usulan Model
Beragam perspektif di atas perlu kita integrasikan menjadi landasan operasionalisasi model, yakni bahwa (1) sekolah tidak boleh mendiskriminasi jenis kecerdasan tertentu, tapi harus memfasilitasi siswa mengembangkan kecerdasan dominan yang dimilikinya—apapun itu, pengembangan kecerdasan itu akan berakibat pada pencapaian prestasi siswa. (2) kecerdasan dan prestasi yang majemuk itu akan berkembang dengan usaha keras dan kontinum (terus-menerus) dalam jangka waktu yang lama, sehingga sekolah harus memfasilitasi kebutuhan pengembangannya dan tidak boleh membatasi, menilai, dan menghargai mereka yang meraih predikat “juara” saja. Pertunjukan dan karya juga harus dinilai sebagai prestasi, dan sekolah harus mentargetkan angka pengalaman selama sekolah—semisal “2 ribu jam”, dan membiarkan siswa melanjutkannya sendiri hingga “10 ribu jam. (3) pengembangan kecerdasan dan prestasi diakselerasi melalui kelompok minat/hobi, pembentukan kelompok hobi didasarkan pada usulan siswa dengan mempertimbangkan kuantitas anggota. Komunitas hobi ini sama dengan kegiatan ekstrakurikuler di sekolah-sekolah pada umumnya.

Berdasarkan integrasi perspektif di atas, model jejaring komunitas hobi yang dibentuk sebagaimana tampak pada gambar 1, dimana:
Angka “1” | Koordinator pengembangan/ bagian kesiswaan |
Angka “2” | Pendamping komunitas, diambilkan dari guru/staff karyawan |
Angka “3” | Siswa/ anggota komunitas hobi |
Angka “4” | Komunitas hobi di luar sekolah |
Huruf “A” | Komunikasi koordinator dengan Pendamping |
Huruf “B” | Komunikasi pendamping dengan anggota kelompok, dan komunikasi antar anggota kelompok |
Huruf “C” | Komunikasi dengan komunitas hobi di sekolah |
Huruf “D” | Komunikasi dengan komunitas hobi di luar sekolah |
Adapun elemen/unsur dalam model pengembangan seperti ini adalah (a) Manusia, dan (b) Sistem. Sistem sendiri terbagi dalam beberapa sub-bagian, yakni: (1) perencanaan, (2) fasilitas, (3) finansial, (4) komunikasi, dan (5) penilaian. Masing-masing pengaturan unsur tersebut adalah sebagaimana diuraikan berikut:
A. Manusia
Yang dimaksud dengan “manusia” di sini adalah mereka yang terlibat, yakni pimpinan sekolah (diwakili oleh koordinator pengembangan), guru, siswa, serta anggota komunitas lain.
Pimpinan sekolah harus menunjukkan komitmennya yang tinggi pada pengembangan semua potensi siswa, tanpa mendiskriminasi jenis kecerdasan tertentu dan mengung-gulkan kecerdasan tertentu di atas yang lain. Pimpinan sekolah perlu memahami landasan filosofis penyelenggaraan pendidikan dan berkomitmen melakukan perbaikan yang berkelanjutan dalam sistem pelayanan dengan memper-timbangkan umpan-balik (feedback) dari anggota komunitas.
Pendamping komunitas adalah guru dan karyawan di sekolah. SEMUA guru dan karyawan terlibat dalam pengembangan potensi siswa. Pengertian pendamping tidaklah sama dengan pembina, namun lebih pada penanggungjawab kegiatan. Dimungkinkan adanya pendamping yang sekaligus pembina. Namun jika pendamping tidak memiliki kompetensi terkait komunitas yang diasuhnya, maka sekolah wajib menyediakan pembina/pelatih dari luar sekolah.
Siswa sebagai anggota komunitas hobi mendaftar secara sukarela. Siswa juga berhak mengusulkan pembentukan komunitas hobi jika komunitas itu belum ada sebelumnya, namun dengan persyaratan minimal jumlah keanggotaan sesuai kesepakatan bersama. Dalam hal terjadi pembentukan komunitas baru, sekolah menugaskan guru/staff untuk menjadi pendampingnya.
B. Sistem
1. Perencanaan
Perencanaan kegiatan komunitas diputuskan bersama oleh anggota komunitas dengan bimbingan dari pendamping dan pelatih. Kegiatan komunitas dirancang satu tahun pelajaran, divalidasi pada pertengahan tahun sebelumnya dan menjadi salah satu dasar pengusunan anggaran sekolah.
Dokumen perencanaan mencakup rencana pelatihan, pertunjukan, serta kompetisi yang akan diikuti. Juga memuat secara rinci prakiraan kebutuhan sarana terkait kegiatan yang akan dilakukan.
2. Fasilitas
Fasilitas disediakan sesuai dengan kebutuhan dalam dokumen perencanaan, dengan mempertimbangkan kemampuan finansial sekolah dan peserta. Anggota komunitas bisa mengusahakan pemenuhan fasilitas dari dana-dana lain di luar subsidi sekolah dengan asas transparansi dan akuntabilitas.
3. Finansial
Prinsip dukungan finansial dalam penyelenggaraan komunitas hobi adalah konsep “subsidi”. Besarnya subsidi kegiatan disesuaikan dengan jumlah anggota komunitas, namun untuk kebutuhan tertentu terkait sarana atau karya jangka panjang yang dipandang perlu, disediakan oleh sekolah.
Orangtua harus mendukung sepenuhnya kegiatan siswa dengan memberikan dukungan finansial tambahan untuk kegiatan pengembangan, terutama kegiatan personal (bukan partisipasi kelompok).
4. Komunikasi
Pendamping komunitas memastikan bahwa hubungan antar anggota berlangsung lancar dan masing-masing anggota mengenal anggota komunitas dengan baik. Pendamping juga menjembatani komunikasi dengan komunitas hobi yang sama di luar sekolah berlangsung baik.
Hubungan yang baik dengan komunitas hobi lain merupakan keuntungan tersendiri bagi pengembangan kompetensi kelompok, disamping meningkatkan peluang pencapaian prestasi. Sekolah harus mendorong agar setiap komunitas bisa mendominasi citra sebagai komunitas hobi yang ternama di luar sekolah.
5. Penilaian
Penilaian tidak boleh ditekankan terlalu serius hingga melebihi kebutuhan akan pengembangan itu sendiri. Penilaian dilakukan untuk memantau pencapaian personal dan tidak dikomparasi dengan pencapaian anggota lain dalam komunitas.
Penilaian tidak terkonsentrasi pada perolehan “predikat juara” saja, tapi juga pada hasil karya, durasi latihan, dan penampilan yang dicapai anggota.
Penilaian kegiatan pengembangan potensi diintegrasi-kan dengan penilaian akademik, dimana pencapaian tertentu dikonversi untuk mengangkat kekurangan pemenuhan persyaratan prestasi akademik (intrakurikuler).
Pentingnya Optimisme
Sebagaimana ditulis Martin E.P. Selligman, Presiden Asosiasi Psikologi Amerika tahun 1996 yang juga dikenal sebagai bapak ilmu pengetahuan baru Psikologi Positif, ketika seseorang gagal dalam melakukan sesuatu, maka ia menjadi putus asa dan tertekan, setidaknya untuk sementara. Orang-orang yang optimis cepat bangkit dari keputusasaannya yang sementara. Setelah gagal, mereka berusaha bangkit dan melupakan kegagalan mereka, kemudian mulai lagi berusaha mencapainya. Bagi orang optimis, kegagalan bersifat sementara dan spesifik, tidak perpasif.
Sebaliknya, orang yang pesimis berkubang dalam kekalahannya. Pandangan mereka tentang kegagalan bersifat permanensi dan pervasif. Depresi dan keputusasaannya terjadi dalam jangka panjang. Mereka menganggap kekalahan dalam pertempuran berarti kekalahan dalam perang. Anak-anak seperti ini biasanya tidak mencoba berusaha lagi dalam hitungan minggu atau bulan, tapi bahkan jika mereka mencoba berusaha, sedikit kegagalan lagi akan membuat mereka semakin depresi dan putus asa (Selligman, 2008:181).
Dalam memperbaiki sikap yang pesimis menjadi optimis, Selligman (2008:282) mengembangkan model yang disebutnya “ABCDE”. Untuk identifikasi ia menyarankan skema model ABC yang dikembangkan psikolog Albert Ellis: ketika kita mengalami kesulitan (Adversity), kita bereaksi dengan memikirkan kesulitan itu. Pemikiran kita dengan cepat membeku menjadi keyakinan (Belief). Keyakinan kita dalam memandang kesulitan ini menimbulkan konsekuensi (Consequenses). Jika cara kita memandang kegagalan atau kesulitan sudah cukup “optimis” maka dengan sendirinya dua tahap ini kita lakukan secara alamiah. Namun jika cara kita memandang kegagalan dan kesulitan tergolong “pesimis” maka dua tahap pemulihan ini harus kita biasakan. Dua tahap lanjutan itu adalah menyanggah (Disputing) keyakinan pesimis kita, kemudian melakukan penguatan (Energization) pada keyakinan negatif kita sehingga memunculkan harapan serta semangat baru.
Dalam proses penyelenggaraan kegiatan pengembangan potensi melalui komunitas hobi ini, tentu akan ditemui berbagai kendala. Kendala itu bisa terkait dengan sekolah, guru, siswa maupun orangtua siswa. Agar kendala yang dialami tidak mengurangi motivasi belajar, agaknya sebagaimana disampaikan Selligman, perlu ditekankan optimisme pada semua pihak.
Pimpinan sekolah harus optimis dalam penyelenggaraannya. Para pendamping harus optimis bisa mendampingi siswa mengeksplorasi kecerdasannya dan memunculkan potensi mereka. Orang tua harus optimis bahwa kegiatan positif anaknya akan membawa dampak positif pula, dan paling penting siswa harus optimis ia akan mendapatkan manfaat dari apa yang dilakukannya.
Optimisme ini perlu dibangun mengingat pengembangan potensi ini tidak selesai saat siswa lulus dari sekolah, tapi untuk mencapai angka 10 ribu jam, mereka harus melanjutkannya meski sudah lulus. Dan dalam proses yang makin menuntut kemandirian ini, optimisme akan keberhasilan masa depan menjadi hal yang vital bagi kesuksesan mereka.
Penulis menyadari bahwa model ini masihlah sangat mentah dan memiliki celah kelemahan baik konseptual maupun operasional di sana-sini. Untuk itu, dirasa perlu adanya pembahasan yang lebih mendetail mengenai wacana ini. Namun sekali lagi, mari belajar optimis.
“With man, a thing possible. With God, everything possible”
THANKS MATERI BAGUUS DARI SITUS
smam1gresik.sch.id
Selengkapnya...